Tak Mengapa Jadi Orang Biasa

Adalah hal yang wajar sebagai manusia kita mengejar keunggulan. Unggul, berprestasi, menjadi istimewa, menjadi luar biasa adalah hal yang alamiah kita suka. Saya yakin, kita semua juga dibesarkan untuk mencapai itu semua. Berapa banyak dari kita sejak kecil percaya, bahwa sebenarnya, jauh di dalam diri kita, kita adalah juara, kita adalah orang yang luar biasa, hanya saja belum terlihat, belum muncul ke permukaan karena kurangnya usaha? Berapa banyak dari kita percaya, pribadi yang saat ini ada sebagai orang biasa, adalah bukan diri kita yang sebenarnya?

Tapi hidup kemudian memberi kita kenyataan yang lain. Kita tetap-tetap saja begini, meski sudah membuktikannya berkali-kali. Jika menulis, tulisan kita tetap saja biasa. Jika bekerja, di kantor pun jadi orang biasa. Jika berpuisi, puisi kita pun biasa. Jika menulis lagu, lagu kita pun biasa. Kita tetap menjadi orang biasa yang jauh dari ungkapan kagum dan gemuruh tepuk tangan orang-orang sekitar kita. Lalu apa yang harus dilakukan? Jika pilihan kalian, untuk terus melanjutkan, maka di kalimat inilah kalian sebaiknya berhenti membaca tulisan ini. Jika pilihan kalian untuk berhenti sejenak, memikirkan apa yang tersembunyi dari hasil-hasil biasa yang selama ini diperoleh, maka semoga tulisan ini bermanfaat buat kalian.

Hal yang membuat kita ogah dengan predikat ‘biasa’ barangkali karena menjadi ‘biasa’ itu sudah banyak. Bahkan populasi orang di dunia ini yang terbanyak adalah orang biasa. Mereka beraktivitas secara normal, hidup secara wajar, jauh dari sentuhan kepopuleran, dan mengakhiri riwayatnya hanya sebagai manusia dengan nama. Tapi pernahkah kita berpikir, barangkali itu isyarat Tuhan, bahwa orang biasa itu memiliki kedudukan yang penting dalam menyangga kehidupan, sehingga dia diciptakan dalam jumlah banyak?

Orang biasalah yang ‘menggerakkan’ kehidupan ini, menjadi aktor dibalik panggung kesuksesan orang-orang istimewa. Tuhan menciptakan hidup ini dengan aturan-Nya sendiri agar semesta bisa berjalan dengan siklus yang harmonis. Coba lihatlah semua inisiatif besar sepanjang sejarah kehidupan di bumi ini, dari piramida di Mesir hingga Eiffel di Paris, apakah mungkin keberhasilannya tercapai tanpa melibatkan orang-orang biasa?

Menjadi orang biasa dan bukan siapa-siapa bukanlah sebuah masalah. Privasi yang terjaga, waktu yang luang, pola pikir yang sederhana adalah beberapa yang tidak mudah kita dapatkan jika menjadi orang ‘tak biasa’. Ya, hidup seperti 2 sisi mata uang, ada orang-orang populer, hebat, berprestasi ada juga orang-orang biasa. Dua-duanya punya sisi baik dan sisi buruknya masing-masing.

Pernah di suatu masa, saya menjadi orang yang ‘agak penting’, memperoleh jabatan, plus peran penting di kantor. Kondisi saat itu ternyata tak otomatis membuat saya nyaman dan bahagia. Ada yang harus dibayar, terutama kedekatan dengan keluarga dan pada diri saya sendiri.

Menerima menjadi orang biasa sering dianggap simbol kepasrahan dan menerima kegagalan. Padahal bagi saya, menerima diri menjadi orang biasa lebih menentramkan. Tak ada yang salah atau berkurang, kita tidak mengkhianati Tuhan walau kita hidup biasa saja.

Tulisan ini bukan mengajak kalian untuk menyerah. Bukan. Bukan juga soal mengajak memilih menjadi biasa ketika kalian berpotensi menjadi luar biasa. Tulisan ini soal berdamai dengan diri sendiri. Meneruskan hidup, beraktivitas, mempersembahkan yang terbaik dari diri dengan perasaan tentram dan bahagia.

Toh ukuran biasa dan luar biasa adalah relatif menurut manusia. Pulanglah dan tanyakan kepada ibu, ayah, istri, dan anak-anak yang mencintai kalian dengan tulus, apakah kalian adalah orang biasa bagi mereka?!

15 pemikiran pada “Tak Mengapa Jadi Orang Biasa

  1. Ada yang lebih hebat dari sekedar ‘orang tak biasa’. Ialah orang yang bisa menemukan dan menjadi diri sendiri sentuhnya.

    Btw saya suka sekali tulisan ini!

    Disukai oleh 1 orang

  2. mas, saya pernah mendengar kata-kata marry riana, “Tuhan memberikanmu hidup, bukan kamu yang membutuhkannya. tapi ada orang lain yang membutuhkanmu.” mungkin kata-kata itu juga cocok untuk tulisan mas tasim ini. ohh … terima kasih sudah menginspirasi anak kecil seperti saya yang belum banyak menelan asam garam kehidupan, mas.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Wah, bagus sekali mas tulisannya.
    Bisa jadi seseorang itu biasa saja pas masa hidupnya, tidak banyak yg kenal, tapi setelah wafat banyak yang mengenal dan bermanfaat bagi banyak orang. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS, saat masih hidup mungkin tidak banyak yang mengenal, namun setelah wafat, semua muslim seluruh dunia bersholawat kepada beliau di akhir sholat. Do’a beliau adalah: Waj’al li lisana sidqin fil akhirin. Dan jadikan aku buah tutur yang baik bagi orang2(yang datang) kemudian,

    Disukai oleh 1 orang

  4. Btw, saya juga orang biasa mas. Semoga orang biasa lainnya dapat terinspirasi bahwa mereka dibutuhkan juga di dunia ini dan tanda kutip orang yang luar biasa dapat lebih menghargai orang biasa. Suka tulisan ini.

    Disukai oleh 1 orang

  5. Ketika membaca tulisan njenengan, saya jadi teringat dengan prinsip pareto 20:80.

    Di muka bumi ini hanya ada 20% manusia yang luar biasa dan 80% sisanya adalah orang yang biasa saja. πŸ˜‚ Dan prinsip pareto ini bisa diaplikasikan dalam berbagai hal.

    Mantap πŸ‘ Secara pesan, tulisan njenengan ini sangat menyentuh hati saya, Mas. Maturnuwun, nggeh πŸ™‡πŸΌβ€β™‚οΈπŸ™‡πŸΌβ€β™‚οΈπŸ™‡πŸΌβ€β™‚οΈ

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan Balasan ke muktasimbillah Batalkan balasan